Tuesday, October 19, 2010

ISLAM IN 1950S IN AUSTRALIA

In my early life during the 1950s, in an Australian state primary school and in Sunday School, both still essentially Eurocentric, Islam was something foreign, un-Christian, heathen and essentially Arabian.  With an increasing awareness of the world around me, through learning and travel, that narrower view gave way to a more open-minded and liberal perspective: people can worship whatever they choose to, an inalienable right, but it means that all belief systems must be tolerant for that idea to be upheld.  This is important, religious toleration is so fundamental to peace and harmony and any group seeking to enforce its belief system on unwilling others represents a threat to that stability.  That is a lesson of history.  Reading about the rise of Islam, especially during the period of the Moors in Spain, close to Christian Europe, was fascinating. I learnt that at this time Islam was by far the more tolerant, allowing the practice of other religions, even employing Jews at high levels within the state bureaucracy.  Cordoba was the high point of European civilisation at that time, bringing not only higher and secular learning but what would be known as the Renaissance.  However that intellectual vigour faded.  Eventually what was the bulwark of the Arabian and Muslim world, the Ottoman Empire, would also fall apart.  Islam became introspective, and with that came forms of fundamentalism.  The price of that is isolation, and whether in Christianity, Hinduism or elsewhere, it breeds intolerant attitudes. Islam today has many negative images.  What the world sees of it, courtesy, albeit of a predominantly Western media, is that it still has a Middle East context. The images tell us about women still being stoned to death, and about terrorism.  My limited understanding of Islamic theology suggests that the genius of Islam lies in its very simplicity, each believer having a direct engagement with God, bringing great individual dignity.  It is not a religion to create theocracies, institutions which throughout the history of civilisation on this planet have never endured because they become autocratic.   Theocracies and self-worth are incompatible.   Islam has succeeded most where it has sought to co-exist in a pluralistic rather than an exclusive setting.  And that is a lesson not only for Muslims but for all those who are fervent about their religion.  

John Steinbach






A Brief Thought on Islam


Islam is many fine things. It is both a Faith (how the individual experiences the divine) and a Following (or, a Religion, thus inherently institutional). Both manifest to rejoice in what is, and promote what will be.
   However offering bounty also, our sciences and mercantalisms in essence are a moral vacuum. To correct this we create polities and economisms to ward off that which errs. But these are not infallible, and we both serve and are provided for by them. What’s more they must be constructed by ideal, and Islam, like other Followings, contribute richly by tempering otherwise unchecked excess of power, mere semantics, and greed, as by nature Followings, and Faiths, promote sets of ideals. Their commitment to the ethical is at their core, but to science and economy they are mere by-product.
  This is not to say that one word is better than another. Yet we both are and are compelled to live socially. Cooperation is required, and thus consensus’ need is self-evident. Non zero-sum theorems suggest we tap the rich variety of ideas (ideals) in order to confront the human condition. Despite universalist-relativist debate, Islam is one of many players here to help us build of dreams.
  So, why ideals? Asking is in a way demonstrative of a lack of hope: that we aspire to more, for ourselves (not just the self, but all of Us), is good. Faiths have the jump, assuming from the beginning that it is all worth it. Hence, their ability to construct how to get there. That’s a key question: how, not why.

  Oh, and what’s in a name? Peace…


Scott Filby
Economics Graduate
Monash University


Saturday, October 16, 2010

KIAI KANJENG

KIAI KANJENG

Kosa kata kiai berasal dari perbendaharaan  bahasa Jawa yang berarti ‘alim ulama’ dan  kosa kata kanjeng berarti ‘paduka tuan atau pejabat tinggi di keraton’; jadi kiai kanjeng berarti ‘ alim ulama’ yang punya posisi terhormat di keraton.

Melalui musik jiwa bisa bergetar dan sering kalau jiwa bergetar pada saat yang sama si individu akan merasakan keEsaanNya dan kebesaranNya dan sekaligus kasihsayangNya.  Karena di setiap insan juga ada musik yang terus-menerus berbunyi memainkan irama-irama yang sesuai dengan denyut jantung yang memiliki melodi dan irama yang teratur mengikuti emosi manusianya.

Musik alamiah yang ada di dalam tubuh manusia akan mencari padanan musik yang punya irama yang ‘searah’ dengan musik yang ada di luar tubuh manusia tadi atau mencari irama yang ‘searah’ di dalam tubuh manusia lainnya.

Oleh karena itu kita seharusnya tidak harus pusing-pusing harus cocok dengan semua orang karena hal itu tidak mungkin.  Semua orang punya irama musik yang berbeda-beda. Ada yang berbeda tapi masih bisa serasi kalau digabungkan tapi ada yang samasekali tidak mungkin diserasikan karena memang corak musiknya beda sekali!  Anda tentu bisa bayangkan bagaimana musik gamelan digabungkan dengan musik hiphop?  Gak mungkin kan?

Kiai Kanjeng satu group musik yang berbeda dengan grup yang lain.  Tidak hanya berbeda dalam jumlah musik instrument yang menurut komentar dari ahli musik di Eropa seperti kata salah seorang dari mereka: “  Ini group gila tapi hebat, jumlah alat musik  yang sedemikian banyak, musik instrumen yang moderen campur dengan musik instrumen tradisionil tapi mampu menciptakan suatu musik yang harmonis.”

Bahkan Cat Steven yang sekarang dikenal dengan nama Yusuf Islam memberikan komentar pada tahun 2004 pada waktu Kiai kanjeng mengadakan konser keliling Eropa: “ Saya tidak pernah begitu terkesan terhadap musikus apapun seperti Kiai Kanjeng.”  Tentu Yusuf Islam tidak berbahasa Indonesia!

Rowett Institute juga berkomentar: “Kiai Kanjeng have brought Javanese traditional percussion to play pop, blues, jazz and even Chinese! They have impressed the whole Europe.”

Jakob Oetama dari Kompas juga berkomentar: “ As a journalist, I am bombarded with question: is Cak Nun (dikenal dengan nama ini) a poet? Saint? Culturalist? Or all of them? His exploration is infinite, diverse and volatile…and he called himself as ‘social worker.’

Kalau dilihat nuansa musik yang diperdengarkan oleh group Kiai Kanjeng memang luar biasa karena nafas yang dipancarkan oleh grup musik Kiai Kanjeng adalah nafas dan nuansa keuniversalan Islam. Tidak hanya itu, Kiai Kanjeng tidak hanya bisa menjembatani komunikasi lintas agama tapi juga lintas budaya.  Kiai Kanjenglah salah satu grup musik dan satu-satunya yang sudah melanglang buana yang mampu menjembatani dan mendekatkan hubungan antar manusia melalui musik.

Kiai Kanjeng berhasil membangun jembatan hubungan antar manusia karena kalau diteliti lebih dalam ternyata lirik yang dikumandangkan oleh Kiai Kanjeng adalah lirik-lirik sufi, cinta dan protes social, dimana keuniversalan Islam terlihat jelas serta unsur-unsur pemaafan banyak sekali terlihat.

……Hanya pada Tuhan
Kita slalu kurang
Hati belingsatan
Kangen tak karuan

Kepada cinta-Mu
Aku kelaparan
Apapun ongkosnya
Kubayar sukarela…………………….
……………………………

Tapi juga lirik jeritan seorang anak manusia yang mengadu kepada Tuhannya,

………betapapun sakit yang kurasakan dalam hidupku
………semoga tak membuatku kehilangan jernih hatiku………………………


Dan juga lagu cinta
anak Adam,


Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu
`
Mungkin karena adanya unsure sufisme itulah pada waktu di Belanda, Kiai Kanjeng dihubungi oleh sekelompok pendeta Protestant.  Seperti yang dikutip oleh Jakarta Post, ternyata para pendeta bermaksud untuk meminta Kiai Kanjeng untuk mengadakan pertunjukan dengan maksud untuk menjembatani hubungan antar masyarakat beragama di Belanda dan membantu mengurangi ketegangan yang ada melalui musik.

Kalau dipikir-pikir yang diributkan itu apa?  Di dunia ini kita kan hanya bicara tentang ‘kebenaran relatif’.  ‘Kebenaran absolut’ hanya milik Ilahi Sang Pencipta Alam semesta ini.  Nanti setelah kita mati dan dihidupkan kembali kita baru tahu apakah selama hidup di dunia kita salah atau benar!  Biarkanlah Allah sendiri yang punya hak untuk ‘menghakimi’ jangan ambil hak itu dariNya.

 Memang betul ada unsur yang cukup dominant nuansa musik Jawa karena memang dalang dari Kiai Kanjeng adalah orang seorang budayawan, penyair, musisi, kritik yang berdarah Jawa yang bernama Emha Ainun Nadjib yang lahir pada tanggal 27 Mei 1953, anak ke-empat dari limabelas putera-puteri.  Emha Ainin Nadjib lebih dikenal dengan panggilan Cak Nun dan sering dijuluki ‘tokoh pembaharu budaya Indonesia – renaissance figure Indonesian culture.’

Dari tahun 1984 – 1986, Cak Nun tinggal di Belanda selama dua tahun dan menurut pengakuan Cak Nun sendiri ini merupakan titik-tolak atau titik reformasi di dalam kehidupannya karena seperti kita ketahui tokoh-tokoh pembaharu Islam hampir semuanya pernah hidup di dua dunia.  Karena dengan pernah hidup di dua dunia, mereka punya perbandingan.

Mohamad Abduh tokoh pembaharu dari Mesir, pernah hidup di Paris, Perancis.  Demikian juga Mohamad Iqbal pernah hidup di Inggris.  Dua tokoh pembaharu Islam ini tidak hanya tinggal di luar negeri tapi juga banyak melakukan perjalanan di negara dimana mereka tinggal.

Menurut Cak Nun: “ Waktu aku kecil tidak pernah ketegangan antar agama seperti yang terjadi sekarang ini.”  Dan ini cocok seperti apa yang dikatakan wartawan Australia, Greg Sheridan di dalam tulisannya di koran The Age 1996 bahwa Islam Indonesia adalah model untuk negara Islam lainnya di dunia.  Setelah 2001, memang ada perubahan mengenai toleransi beragama di tanah air tapi semoga itu hanya ‘reaksi sementara’,  disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal.

Usaha –usaha yang dilakukakn oleh The Dutch Muslim and Protestant Women’s Association di Daventer, Belanda, dimana mereka membangun kesalingpengertian antar kelompok beragama di Belanda.  Seperti apa yang juga dilakukan oleh Interfaith Through Dialogue di Melbourne bekerjasama dengan organisasi SOBAT di Salatiga.

Pada tahun 2006, Kiai Kanjeng mengadakan kunjungan ke Finlandia dan sebenarnya buat masyarakat di negara-negara Eropa pakaian Muslim bukan hal yang aneh lagi, karena semua para pemain Kiai Kanjeng yang perempuan  mengenakan jilbab yang serba putih dan laki-lakinya juga mengenakan peci dan pakain yang juga serba putih.

Seperti kata pengarang terkenal Amerika James Michener di judul bukunya ‘Islam: The most misunderstood Religion’ Dengan kedatangan Kiai Kanjeng ke Australia kali ini, semoga kesalahpengertian tentang agama Islam bisa berkurang karena memang mereka salah satu grup musik yang berhasil menjabarkan keuniversalan ajaran Islam melalui melalui nada-nada musik dan tidak itu saja tapi juga membantu membangun dialog antar kepercayaan dan budaya yang ada di di Australia khususnya dan dunia pada umumnya.

Kiai Kanjeng sudah menerbitkan 14 album yang semuanya bernuansa membangun dialogue antar budaya dan agama yang memang kita perlukan pada saat seperti sekarang ini. Secara tidak langsung Kiai Kamjeng juga ikut memperkenalkan budaya Indonesia ( Published by BUSET Magazine, Oct 2010 Edition).




KIAI KANJENG

Never have I been impressed to any musicians like Kiai Kanjeng
(Cat Stevens’ comment after enjoying Kiai Kanjeng concert in London, Nov 2004)

Kiai Kanjeng have brought Javanese traditional percussion to play
pop, blues, jazz and even Chinese music! They have impressed
the whole Europe!
 
As a journalist, I am bombarded with questions: is Cak Nun a
poet? saint? culturalist? or all of them? his exploration is infinite,
diverse and volatile... and he called himself as 'social worker'.
(Jakob Oetama, Chairman of KOMPAS)
(Rowett Institute-Aberdeen)

Hadith

There is much proof that Muhammad hoped for the day when all who shared a common belief in God would exist together in peace.  It is well documented that, on one occasion, when a deputation of Christians visited him, he said, when time for prayers arrived, ‘Conduct your service here in the mosque.  It is a place consecrated to God’.

YAHUDI-ISLAM-KRISTEN SALING BANTU


Setelah kejadian penggerebekan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang terhadap kelompok yang dicurigai sebagai kelompok yang membahayakan masyarakat beberapa tahun yang lalu, tepatnya tanggal 8 November 2005, ada ‘sesuatu yang menarik’ terjadi dan sesuatu yang selama ini tidak pernah kita sangka akan terjadi.

Seperti kita ketahui umat Islam menjadi ‘bulan-bulanan’ dari sebagian kecil sekali orang yang ‘iseng’ dengan melakukan hal-hal yang mempunyai dampak negatif.terhadap komunitas Islam di Australia.

 ‘Sesuatu yang menarik’ yaitu kompaknya umat yang beragama Yahudi dan Kristen untuk melindungi komunitas Islam dari kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. 

Di dalam koran harian the Age (28/12/05) ada berita yang berjudul ‘Jews offer tips to Muslims’ yang ditulis oleh Ian Munro.  Disini disebutkan bahwa orang Yahudi yang berpengalaman dalam hal menjaga sinagogoe akan membantu orang Islam untuk bagaimana melindungi mesjid dengan cara melatih masyarakat orang Islam untuk melaporkan kegiatan yang mencurigakan.

Dari sini ternyata bahwa persamaan nasib menimbulkan rasa solidaritas beragama yang tinggi, untuk saling ingin melindungi.  Jadi kelihatan sekali bahwa dalam keadaan yang mengancam kesalamatan diri sebagai manusia yang kelihatan adalah kita sama-sama manusia, apa agama yang dianut mungkin hal yang kedua!  Yang adalah ‘solidaritas beragama.’ Tiga agama yang bersumber dari sejarah dan Nabi yang sama yaitu Nabi Ibrahim! Tauhidnya sama tapi syariahnya beda!

Memang ada kejadian seperti karena pakai jilbab diganggu, mesjid yang dilempari dan kejadian-kejadian yang sebenarnya bukan suatu hal yang aneh.  Tempat suci orang Yahudi dari dulu sering dilempari oleh orang oarng yang tidak bertanggung jawab.  Jadi apa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini tidak perlu dibesar-besarkan karena ini hanya gejala yang biasa terjadi di manapun dan sudah pernah terjadi di dalam sejarah.  Ini suatu proses seperti lirik lagu Chrisye ‘Badai Pasti Berlalu.’ Agama Katolikpun pernah mengalami perlakuan serupa yang sekarang dialami oleh agama Islam.  Ned Kelly, Mat Jampangnya Australia, yang beragama Katolik diperlakukan jelek sekali yang akhirnya dihukum gantung di penjara di Melbourne yang sekarang jadi salah satu atraksi turis.  Menurut beberapa versi di dalam sejarah Australia tercatat ini merupakan ‘rasisme/prasangka buruk’ pertama terhadap agama Katolik.

Di zaman salah satu kerajaan Islampun kerukunan beragama dikenal sebagai salah satu daya tarik dari agama Islam.  Tercatat dalam sejarah, bahwa pernah di satu tempat, pada hari Jumat dijadikan sebagai tempat untuk orang yang beragama Islam untuk salat Jumat dan hari Minggu dijadikan tempat bagi umat Nasrani melakukan misa Minggu.

Jadi yang diributkan itu apa sih?  Kebenaran?  Di dunia ini kita kan cuma bicara masalah ‘kebenaran relatif’ sedangkan ‘kebenaran mutlak’ hanya milikNya!  Kita tahu benar-salah itu nanti, gak sekarang! Artinya, kita tidak bisa menyalahkan agama orang lain dan merasa bahwa agama yang dianutnyalah yang benar!

Konperensi Interfaith Sedunia yang baru-baru ini diadakan di Melbourne merupakan sarana yang positif sekali dalam mencari titik-titik persamaan antara agama di dunia.  Dan kalau dipikir-pikir yang diributkan itu apa?  Kita sama-sama menyembah ‘ sesuatu’ yang kita beri nama Allah, Tuhan, Sang Hyiang Widhi, apapunlah namanya, tapi kan kita sama-sama menyembah dan merendahkan diri kita sebagai manusia kepada yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta ini.

Bagaimana kita melakukan ritual dalam penyembahan kepadaNya, tentu berbeda karena waktu dan tempat di mana agama tersebut diturunkan berbeda! Agama Yahudi diturunkan kepada umat Nabi Musa di mana sikonnya berbeda dengan agama Kristen yang diturunkan juga berbeda dengan agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.  Agamanya beda tapi tujuannya sama yaitu kita sama-sama mau masuk surga!

Jadi yang diributkan itu apa?  Penulis jadi ingat guyon seorang teman dan kolega pada waktu masih kuliah, sang dosen nyeletuk kepada salah seorang mahasiswinya ‘ Mbak yu itu mau ngomong apa, koq sulit banget kelihatannya.’ 
 Apakah yang kita ributkan ini ‘kekuasaan?’  Atau yang kita ributkan adalah ‘ketidakamanan kita sendiri terhadap keyakinan kita sendiri?  Atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama?  Kita masing-masinglah yang hanya bisa menjawabnya, dan tidak ada orang lain yang mampu dan berhak menjawabnya.  Waktu yang terbaik untuk mencari jawabannya adalah sebelum tidur, di mana semua umat manusia sudah lelap tidur dan yang masih terjaga hanya;  Tuhan dan Anda! 

Kenapa pada zaman yang katanya banyak orang yang punya ‘wawasan luas’ dengan atribut doctor, master apalagi tapi punya ‘wawasan sempit dalam bertoleransi agama.’ Apa yang salah ya?

Mungkin salah satu sebab adalah, kita belajar hanya untuk mendapatkan ‘secarik kertas’ yang bertuliskan:

The University of  Timbuktu


This is certify that

Si Anu

Was duly admitted to the degree of


Doctor of Biology

In The University of Timbuktu on

30 August 2010-04-02





Vice Chancellor

University Secretary


………………………………

…………………………………….


Tapi kita tahu pendidikan tinggi formal tidak menjamin luasnya wawasan seseorang.  Dan kita melihat dan tahu pendidikan formal tok justru mempersempit cara pandang seseorang.  Kombinasi antara pendidikan formal dan pengalaman hiduplah yang merupakan kombinasi yang serasi.  Biasanya kombinasi antara keduanya akan memperluas wawasan seseorang dan bisa menerima perbedaan pendapat betapapun besar perbedaan tsb.  Nah kalau ini yang terjadi terhadap seseorang maka tujuan utama dari pendidikan itu sudah tercapai!  Dan pikiran seperti ini juga akan berpengaruh terhadap sikap beragama dan orang tsb akan punya rasa toleransi agama yang tinggi.

Karena dia tahu yang kita ributkan selama ini adalah ‘kebenaran relatif’.  ‘Kebenaran absolut’ yang punya adalah Tuhan.  Artinya kalau kita setuju bahwa kita yang masih mengaku sebagai manusia hanya boleh bicara tentang ‘kebenaran relatif’ dan ‘kebenaran absolut’ hanya milik Allah, maka tidak akan ada keributan agama, tidak akan ada saling-ngotot, maunya mau menang sendiri, lantas ngoceh, ‘masuk neraka lu!’ Sejak kapan Allah memberikan hak kepada manusia untuk menghakimi  sesama manusia, apalagi masalah surga dan neraka?

Ada satu lelucon, katanya nanti di akhirat nanti hanya ada dua pintu yang di depannya tertulis:  ‘Good Religion & Bad Religion.’  Yang terjadi terjadi adalah, semua orang berdesak-desakan di pintu yang tertulis: GOOD RELIGION!

Artinya, janganlah kita sekarang ini menghakimi orang lain, kita hanya bisa berbuat semaksimal mungkin, setelah itu serahkan kepada Sang Pencipta alam semesta ini.

Di dalam Kitab Suci Al-Quran ada satu ayat yang berbunyi: ‘Agamaku agamaku, agamamu agamamu.’
Nah, kalau kita interpretasikan ayat ini, berarti ya, kalau yang beragama Islam, ya,  shalat lima kali sehari yang merupakan tonggak dalam penyerahan diri kepada Allah dan salah satu cara untuk ‘membersihkan hati’.  Yang beragama Nasrani dan Yahudi juga menjalankan ritualnya masing-masing yang berbeda!  Kalau seandainya kita masing-masing kita menjalankan apa yang diminta oleh kepercayaan kita masing-masing tentu planet yang namanya bumi ini merupakan tempat yang indah untuk didiami bersama, amin!